Falsafah Hidup dan Kehidupan Bernegara: Sebuah Renungan



Apa hubungan antara falsafah hidup dan kehidupan bernegara? Falsafah atau juga disebut teori kehidupan atau cara pandang ('worldview') seseorang mempengaruhi kehidupan bernegara.

Falsafah apa yang terbangun dalam diri  akan 'mewarnai' bagaimana ia berkehidupan kebangsaan. Mengapa? Ini karena seluruh tindakan-tindakan ditentukan oleh keyakinan yang diterima.

Seluruh keputusan hidup sangat dipengaruhi oleh 'mind-set' atau 'worldview.' Demikian juga pandangan-pandangan kita tentang kehidupan bernegara akan ditentukan oleh pandangan hidup atau wawasan kita.

Pandangan hidup kita dipengaruhi oleh berbagai informasi termasuk ajaran agama. Agama membahas hampir semua bidang kehidupan termasuk politik.

Agama membahas eksistensi Allah, manusia, relasi antara Allah dan manusia, relasi antara manusia dan manusia, dan relasi antara manusia dan alam.

Bahkan sampai titik tertentu, agama juga memberi prinsip-prinsip dasar bagi ilmu pengetahuan. Agama bisa menjadi sumber dari falsafah hidup. 

Pandangan hidup kita dipengaruhi oleh berbagai informasi termasuk ajaran agama. Agama membahas hampir semua bidang kehidupan termasuk politik. Agama membahas eksistensi Allah, manusia, relasi antara Allah dan manusia, relasi antara manusia dan manusia, dan relasi antara manusia dan alam.

Boleh disebut bahwa agama merupakan kontributor paling banyak dalam pembentukan 'worldview' kita. Tentu masih ada informasi-informasi lain seperti pendidikan orang tua, guru, dosen, peristiwa-peristiwa yang mengesankan atau kejadian yang bersejarah dalam hidup kita.

Ini semua memberikan kontribusi terhadap pembentukan pandangan hidup kita. Namun demikian, ajaran agama bisa menjadi sumber paling banyak yang memberi 'warna' kepada falsafah hidup kita.  

Kita tidak selalu bisa menghidupi 'worldview' yang kita terima. Kita tahu apa yang baik, tetapi kita tidak selalu bisa menerapkannya. Tidak mudah menyeimbangkan antara 'worldview' secara kognitif dan prakteknya dalam kehidupan.

Dengan kata lain, ada perbedaan antara teori dan tindakan. Kita bisa saja mengetahui ajaran agama bahkan mengetahuinya begitu dalam, tetapi tidak bisa menjalankannya sepenuhnya.

Ada perbedaan antara yang kita tahu dan apa yang kita lakukan. Dan bisa terjadi kita tidak memahami apa yang kita yakini. Jadi, sangat kecil kita bisa mensinkronkan pengetahuan tentang ajaran agama dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.

Ada pertarungan dalam proses pembentukan falsafah hidup kita. Dalam perjalanan hidup, kita bertemu dengan berbagai orang dan berbagai informasi kita terima. Kita tidak selalu bisa menyaring mana informasi yang benar dan mana yang tidak.

Ini masuk akal. Ada pertarungan dalam proses pembentukan falsafah hidup kita. Dalam perjalanan hidup, kita bertemu dengan berbagai orang dan berbagai informasi kita terima. Kita tidak selalu bisa menyaring mana informasi yang benar dan mana yang tidak.

Informasi bisa masuk secara alami ke pikiran dan dengan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol bisa menyelinap masuk ke dalam pikiran dan bercokol di sana. Sekali pemikiran itu menghuni pikiran, sulit pemikiran itu untuk digusur.

Kita bisa saja memegang ajaran agama tentang kematian, tetapi kita menggunakan falsafah modern tentang bisnis. Kita bisa  saja menerima nasihat orang tua tentang pasangan hidup, tetapi menggunakan filsafat Yunani mengenai demokrasi.

Jadi, tidak mengherankan kalau beragam arus pemikiran menghuni pikiran kita. Kita tidak mempunyai sebuah konsep yang utuh dari satu sumber untuk membangun falsafah hidup kita.

Jadi, besar peluang kalau kita tidak memiliki teori kehidupan yang konsisten, dalam artian bahwa teori yang kita terima tidak datang sari satu sumber arus pemikiran besar. 

Para pendiri bangsa kita memahami kompleksitas falsafah hidup ini. Dengan keberagaman bangsa kita, tidak mungkin membangun sebuah negara dengan dasar sebuah agama.

Pada tahun 1945, masyarakat ada yang beragam Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan masih ada penganut aliran kepercayaan. Jadi, tidak mungkin menyatukan masyarakat dalam sebuah negara atas dasar agama. Satu agama tidak mungkin mengikat seluruh masyarakat.

Konsep yang mungkin bisa mempersatukan adalah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, seperti yang dikenal dengan istilah Sumpah Pemuda, yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928.

Jadi, tidak mengherankan kalau beragam arus pemikiran menghuni pikiran kita. Kita tidak mempunyai sebuah konsep yang utuh dari satu sumber untuk membangun falsafah hidup kita.

Kehidupan bernegara dan berbangsa memang tidak bisa diikat oleh ajaran agama. Menjadi isu ketika ada sosok yang berkompeten dan berintegritas, tetapi memiliki keyakinan yang berbeda dengan masyarakat yang mayoritas maju menjadi calon kepala daerah seperti Calon Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau sering dikenal dengan Ahok.

Dengan segudang perestasi kerja yang nyata, integritas, tidak pernah korupsi bahkan menyelamatkan uang negara puluhan triliun, ia dicoba dijegal untuk tidak maju dengan menggunakan alasan-alasan keyakinan.

Apakah sosok-sosok minoritas, yang berkompeten, berintegritas dan tidak pernah korupsi tidak bisa lagi mengabdi kepada negara dan bangsa, khususnya sebagai kepala daerah atau Prresiden?

Apakah intrepretasi nilai-nilai agama menggugurkan nilai-nilai kebangsaan yang sudah disepakati bahwa setiap orang punya hak politik untuk mengabdi bagi bangsa dan negara? 

Bukankah dalam lagu 'Bagi Mu Negeri' sudah disebutkan bahwa jiwa dan raga akan kita serahkan kepada negeri tanpa memandang ras dan agamanya?

Bila karena alasan interpretasi agama sosok minoritas tidak lagi punya kesempatan untuk mengabdi kepada negeri ini, bukankah kita menghianati para pendiri bangsa ini?

Apakah dasar Negara Pancasila, somboyan Bhinneka Tunggal Ika, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Sumpah Pemuda, lagu-lagu nasional, Bhinneka Tunggal Ika dan banyak simbol lain menjadi tidak berarti?

Ini bukan isu yang mudah. Isu ini harus menjadi perhatian etlit politik, elit agama dan masyarakat demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita harus banyak berpikir dan merenung kembali cita-cita Para Pendiri Repulik ini seperti yang telah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Hanya dengan kesetiaan meraih cita-cita itu, negeri kita ini bisa maju dan ambil bagian mengisi perjalanan sejarah dunia yang progressif. (JM)


Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com






































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Berlangganan
Putra-Putri-Indonesia.com (Free)

Enter Your E-mail Address
Enter Your First Name (optional)
Then

Don't worry — your e-mail address is totally secure.
I promise to use it only to send you Putra-Putri-Indonesia.com.

KONTAK

0813-1141-8800

0813-1122-1148

JADWAL SEMINAR

Worldview

Reading People

Start your Own Business

Bagaimana Memulai Kebiasaan yang Baik?

Menanam Benih Etos Kerja Unggul: Tips