'Binatang Haram' Zaman Now



Umumnya, kalau kita menyebut binatang haram, yang kita maksud adalah babi atau anjing. Bagi sebagian lagi, yang termasuk haram adalah ikan lele, udang, kerang, belut atau binatang yang tidak bersisik.

Ini tidak boleh dimakan. Ajaran agama menyebut begitu dan kalau sudah ajaran agama, itu tidak mudah dibantah.

Namun, 'binatang haram' zaman now sekarang bukan lagi hanya babi, anjing, ikan lele, udang, kerang, belut, binatang lain, tetapi juga agama dan politik.

Beberapa grup yang saya ikuti melarang postingan beraroma 'haram.' Bisa muncul perdebatan setiap ada postingan demikian. Ada 'kegaduhan'. Kenyamanan, kebersamaan dan rasa persaudaraan di grup jadi terganggu. Apalagi kalau postingan membawa nama partai, sosok atau agama; ada saja yang merasa risih.

Namun, ada yang mengganjal. Kenapa agama dan politik jadi 'binatang haram'? Bukankah itu topik-topik yang menarik untuk dibahas daripada postingan tentang kesehatan atau topik lain yang orang lain belum tentu tertarik? 

Dalam bukunya Sophie's World, Jostein Gaarder pernah menulis, "Hanya Filsafat topik yang bisa dibahas bersama oleh beberapa orang."

Apakah ia elit agama, politisi, ahli hukum, pebisnis, atau orang yang bergelut di bidang lain, hanya Filsafat yang bisa 'mempersatukan' mereka Topik di luar Filsafat tidak mungkin mempersatukan mereka.

Karena agama dan politik banyak bersinggungan dengan Filsafat, kedua topik ini sebenarnya asyik dibicarakan. Namun, di zaman now, tidak. Orang takut membahasnya; agama dan politik menjadi 'binatang haram.'

Memang sedikit postingan beraroma agama dan politik yang membuka wawasan atau memberi pencerahan. Postingan agama biasanya berisi teks Kitab Suci dan penejelasannya, video, dan peristiwa lain.

Postingan berwarna politik sering berisi promosi bagi kubu tertentu. Kalaupun ada postingan yang bersifat informasi, tetap saja dianggap seperti pencitraan.

Postingan yang bukan tentang agama dan politik, berisi nasihat etis yang barangkali semua orang sudah tahu, tapi hanya tidak bisa melakukan.

Postingan yang beraroma agama dan politik memang mudah menyulut tanggapan negatif. Ketika ada postingan foto keluarga dari Presiden misalnya, itu dianggap pencitraan. Respon cenderung negatif.

Kalau orang membaca postingan yang negatif biasanya diresponi dengan negatif juga. Ini hukum alam kecuali bagi mereka yang kemanusiaannya sudah matang; mereka bisa diam dan tidak menanggapi.

Memprihatinkan melihat interaksi yang terjadi di media sosial. Diskusi sehat tidak bisa bertumbuh. Rasio seolah-olah 'mati' terhadap topik agama dan politik.

'Binatang haram' itu adalah agama dan politik.

Kalau topik politik dan agama tidak bisa lagi dibahas, apalagi yang menarik? Bukankah agama banyak membahas kematian dan kematian merupakan akhir dari hidup manusia sebelum ia masuk ke dalam kekekalan?

Bukankah politik merupakan platform untuk mengapplikasikan pengetahuan sebelum kematian tiba? Di mana lagi kita mendapat pencerahan mengenai tugas manusia masa kini dan masa depan manusia selain topik agama dan politik?

Berbahaya kalau topik agama dan politik tersingkir dari ranah publik. Itu yang terjadi di Eropah. Agama dianggap menjadi sumber pertikaian;  ilmu pengetahuan dianggap netral.

Dan benar, ketika ilmu pengetahuan atau hal-hal yang bersifat materi dibahas, rasio bisa berfungsi normal; rasio bebas berkreasi; emosi yang muncul tidak seperti emosi saat membahas agama atau politik.

Sebaliknya, bila agama atau politik dibahas, diskusi sehat lumpuh; rasio tak berkutik. Emosi 'naik.' 

Menyisihkan agama dari ranah publik mengakibatkan Eropa mau 'mati'. Segala sesutu dirasionalkan termasuk agama. Hal-hal yang tidak bisa diterima rasio dianggap tidak layak dibahas. Bagi mereka, materi eksis 'forever.' Tidak ada 'Sosok' yang mencipta dunia ini. Itulah pandangan Barat saat ini.

Dan kita tahu apa ujungnya. Eropa menuju 'kematian.' Bila agama terus tersingkir, tinggal menunggu beberapa dekade lagi Eropa lenyap dari peradaban-modern dalam arti yang sesungguhnya.

Bila satu bangsa punya budaya, tapi Tuhan tak ada lagi dalam budaya tersebut- itu sama saja budaya tanpa Allah. Apa artinya? 'Itu budaya orang kafir,' kata teman saya. Dan kita bisa menebak, di mana persinggahan akhir orang kafir.


LINK TERKAIT

Sampai Sejauh Mana Wilayah Rasio

Bagaimana Berfilsafat?

Liang Kubur, Akhir Perjalanan Hidup Kita


Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com






































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Berlangganan
Putra-Putri-Indonesia.com (Free)

Enter Your E-mail Address
Enter Your First Name (optional)
Then

Don't worry — your e-mail address is totally secure.
I promise to use it only to send you Putra-Putri-Indonesia.com.