Kurikulum Pendidikan
Hari
Sabtu lalu, 17 November 2018, saya menghadiri Acara Inaugurasi Calvin
Institute of Technology, yang merupakan cikal bakal Universitas Calvin
lima tahun mendatang.
Saya
dengar ide ini sudah ada belasan tahun lalu dan semakin mendesak untuk diwujudkan ketika pendirinya divonnis dokter beberapa tahun lalu bahwa
ia tidak hidup lama lagi bila tidak dilakukan operasi jantung.
Menarik latar belakang pendirian Calvin Institute ini. Faktor teologis sangat menonjol dan pemikiran sosok John Calvin dan penerusnya begitu kental.
Dalam
buku yang dibagikan kepada peserta yang hadir, saya membaca, "for with
Scripture as our guide and teacher, not only does he make plain these
things that would otherwise escape our notice, he virtually forces us to
behold them as if he had assisted our dull sight with eyeglasses."
(karena Kitab Suci sebagai petunjuk dan guru kita, bukan hanya Ia membuat hal itu jelas agar tidak lepas dari perhatian kita, Ia menekan kita untuk memegangnya seolah-olah Ia membantu penglihatan kita yang rabun dengan kacamata.)
Ada perkataan Abraham Kuyper, penulis buku Lectures on Calvinism. "Every science in a certain degree
starts from faith, and, on the contrary, faith, which does not lead to
science, is mistaken faith or superstition." (Setiap pengetahuan pada
sampai tahap tertentu dimulai dari keyakinan, dan, sebaliknya, keyakinan
yang tidak menuntun kepada pengetahuan, adalah keyakinan yang salah
atau takhyul."
Ada pemikiran John Keppler, ahli Matematika dan Astronomi yang hidup dari 1571-1630,
"The chief aim of all investigation of the external world should be to
discover the rational order which has been imposed on it by God, and
which he revealed to us in the language of Mathematics." (Tujuan utama
dari semua investigasi mengenai dunia eksternal sepatutnya menemukan
keteraturan yang rational yang sudah ditaruh dalam alam oleh Tuhan, dan
yang sudah Ia nyatakan kepada kita dalam bahasa Matematika.)
Ada juga kata-kata pendiri Calvin Institute, Stephen Tong, "God's revelation tells us that these two, wisdom and righteousness are not to be separated." (Penyataan Allah menceritakan bahwa kedua hal ini, bijaksana dan kebajikan, tidak dapat dipisah.)"
Falsafah-falsafah tadi kemudian dikemas dalam Reformed Liberal Arts Curriculum (RLAC), yang dikelompokkan ke Worldview Transformation, Basic Competence, Society and Culture dan Conceptual Thinking.
Worldview Transformation berisi mata kuliah Teologi, Filsafat, Sejarah dan Interdisplinary Study. Basic Competence berisi mata kuliah Rhetoric, Logic, dan Health and Fitness.
Society and Culture berisi Art, Literature dan Social; Conceptual Thinking berisi mata kuliah Matemathics, Physics, Biology dan Chemistry.
Kurikulum jenis ini tidak pernah diterapkan di perguruan tinggi di Indonesia dan tidak tanggung-tanggung, RLAC berisi 47 SKS atau sepertiga dari total sks pada setiap program studi.
RLAC menjadi dasar dari 6 program studi: IT and Big Data Analytics, IoT and Electrical Engineering, Chemical and Food Processing, Biomedical Science, Structural and Geotechnical Engineering dan Architectural and Urban Design.
Saya coba bandingkan RLAC dengan kurikulum pendidikan ketika saya kuliah. Waktu kuliah di ITB, saya mendapat mata kuliah agama, kewarganegaraan (Kewiraan), Matematika, Fisika dan Kimia.
Tidak ada mata kuliah Filsafat. Tidak ada juga maka kuliah sejarah di kampus, yang barangkali dianggap tidak perlu karena sudah diberikan di SMA.
Mata kuliah Seni dan Interdisciplinary Study juga tidak saya dapat di ITB. Kalaupun ada seni, ini hanya berupa kegiatan ekstrakurikuler. Hanya mahasiswa jurusan Seni Rupa yang mendapat mata kuliah Arts.
Di Colorado School of Mines (CSM), saya mendapat mata kuliah Menggambar, Matematika, Kimia, Fisika, dan Filsafat (disebut Crossroad). Tidak ada mata kuliah Teologi dan Sejarah. Tidak ada mata kuliah Rhetoric.
RLAC merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan. Ini solusi terhadap masalah sistem pendidikan ala John Dewey yang masih dominan di dunia pendidikan saat ini.
Dalam sistem pendidikan John Dewey, hal-hal yang bersifat supranatural, disingkirkan karena tidak sesuai dengan falsafah Pragmatisme atau filsafat Barat pada umumnya, khususnya dari aliran Immanuel Kant. Yang ditekankan adalah pengetahuan tentang lingkungan (alam).
Bagi John Dewey dan pengikutnya, segala sesuatu yang tidak dapat dianalisa dengan metode ilmu pengetahuan tidak perlu diketahui.
Hal-hal yang tidak bisa diuji coba di laboratorium atau dianalisa oleh rasio atau diobservasi panca indera dianggap tidak layak dipelajari. Pengetahuan alam dianggap tidak berhubungan dengan keyakinan.
Namun, Calvin Insititute of Technology mengambil arah yang lain. Mereka menggabungkan keyakinan dan pengetahuan. Pengetahuan tidak dipisahkan dari keyakinan.
Melihat kurikulum pendidikan-nya, sejenak saya berpikir, "Ada harapan bagi dunia pendidikan di negeri ini." Langkah awal sudah dimulai.
Saya pelajari latar belakang rektornya. Ia mendapat gelar PhD di bidang Fisika dari Connecticut of University dan saat ini kandidat untuk dapat gelar PhD dari Westminster Theological Seminary, seminari paling bergengsi di dunia yang berlokasi di Philadelphia.
Saya
dengar lulusan dari 'Philadelphia' umumnya adalah 'transformator' di
mana mereka bertugas seperti Rektor Mackenzie Presbyterian University di
Sao Paulo, Brazil, kampus dengan 40.000 mahasiswa dan memiliki reputasi
tinggi dan tradisi yang kuat.
"Tidak
ada yang dapat melengkapi anak didik kita untuk menghadapi zaman yang
terus berubah dan tidak menentu selain dengan memberikan pendidikan
tinggi berbasiskan kurikulum pendidikan liberal arts." Itu salah satu paradigma di Calvin Institute of Technology ini.
Tidak salah meminta nasihat dari Calvin Institute of Technology bila Anda mau menerapkan konsep ini di kampus Anda.
Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com
Berlangganan
Putra-Putri-Indonesia.com (Free)
Dapatkan Beasiswa bagi Siswa-Siswa Terbaik di SMA 0800 1-CALVIN (Toll Free) 62-21-6586-0536
Ini Kecakapan Dasar yang Dibutuhkan