Agama dengan Budaya
Beberapa waktu lalu, ada diskusi menarik di Cawang, Jakarta Timur. Ada 7 orang yang ikut diskusi. Topik pembahasan adalah tentang cakupan budaya.
Lebih spesifik, hubungan agama atau sistem kepercayaan (keyakinan) dengan budaya dibahas dengan hangat; apakah keyakinan adalah bagian dari budaya?
Dari peserta diskusi, ada yang mengatakan bahwa keyakinan bukan bagian dari budaya. Keyakinan sudah melekat sejak manusia itu eksis- entah apapun keyakinannya.
Dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman dan meningkatnya kesadaran seseorang, ia akan memilih keyakinan- apakah itu keyakinan tradisi, yang 'diwariskan' orang tua atau menerima keyakinan lain setelah melewati pergumulan-pribadi yang unik.
Dengan kata lain, setiap orang memiliki keyakinan sekalipun ia tidak selalu menyadari keyakinannya.
Peserta lain mengatakan bahwa keyakinan merupakan bagian dari budaya. Pandangan ini umumnya dipengaruhi oleh para ahli yang dipengaruhi oleh filsafat Immanuel Kant atau sesudahnya (post Kantian thought).
Dalam konstruksi filsafat Kant atau post-Kantian thought, keyakinan dan budaya diposisikan dalam satu kategori. Keyakinan dan alam dibuat menjadi satu kelompok.
Pikiran manusia atau manusia itu sendiri menjadi penilai mutlak. Manusia dianggap mempunyai otoritas tertinggi dalam menilai segala sesuatu termasuk keyakinan.
Bahwa manusia adalah otoritas tertinggi sudah dimulai oleh Socrates, filosof Yunani yang hidup kira-kira 2500 tahun lalu, yang kemudian diteruskan oleh muridnya Plato.
Pemikiran ini, kemudian diteruskan oleh murid Plato, yaitu Aristoteles.
Kecuali Agustinus, dapat dikatakan bahwa silsilah filsafat Eropa atau Barat mengikuti arus Socrates ini. Hanya dalam hal-hal tertentu filosof yang satu berbeda dengan yang lain.
Jostein Gaarder, penulis buku Sophie's World, sudah meringkas silsilah ini dengan baik.
Bagaimana filsafat Yunani kuno itu hidup sampai sekarang dan berkuasa di Eropah dan Amerika ditulis oleh Michael W. Goheen dan Craig G. Bartholomew dalam buku berjudul Living at the Crossroad.
Agama dengan Budaya
Di
situ dikisahkan bagaimana keyakinan makin tersisih di Eropah sekalipun
reformasi religius yang dicetuskan oleh Martin Luther dan John Calvin
sempat mengalami zaman keemasan pada abad ke 16 dan ke-17.
Dari kisah supremasi filsafat Yunani kuno, khususnya yang digaungkan oleh Immanuel Kant, pendefinisian apapun dalam ilmu pengetahuan (science) umumnya dirumuskan dengan asumsi-asumsi yang dibuat oleh filosof Immanel Kant atau post-Kantian thought, yang merupakan derivatif (turunan) dari filsafat Yunani kuno. Manusia adalah otoritas tertinggi- itulah poin paling penting dari arus filsafat ini.
Saya kutip beberapa definisi budaya
dalam pengaruh Immanuel Kant atau post-Kantian thought. Antropolog Sir
Edward B. Taylor dari Inggris mendefinisikan budaya sebagai 'the complex whole of ideas and things produced by men in their historical experience' (keseluruhan ide dan barang yang dihasilkan oleh manusia dalam pengalaman sejarahnya - terjemahan bebas).
Antropolog Ruth Benedict menyebut bahwa budaya adalah ''as pattern of thinking and doing that runs
through activities of people and distinguished them from all other
peoples' (pola pikir dan tindakan orang yang tercermin melalui
aktifitasnya dan yang membedakannya dari orang lain - terjemahan bebas).
Menurut Kuntjaraningrat, budaya
adalah "Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar."
Dari ketiga definisi itu, tidak ada hubungan yang dekat antara agama dengan budaya (aktifitas manusia). Manusia hanya dilihat dari aktifitasnya sedangkan apa yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu (bertindak) tidak menjadi perhatian utama.
Manusia hidup dan
bergerak karena manusia mempunyai jiwa atau roh. Masih ada emosi dan
pikiran- topik yang tidak akan habis dibahas.
Saya meminjam pengertian budaya dari Henry R. Van Til, penulis buku The Calvinistic Concept of Culture. Ia membuat definisi budaya sebagai "setiap pengembangan atas diri manusia yang menghasilkan peningkatan, pencerahan, dan disiplin yang diperoleh melalui pelatihan mental dan moral, peradaban dan peningkatan dalam hal tata krama dan selera yang tinggi."
Dengan
kata lain, orang yang berbudaya adalah orang yang sepenuhnya matang
dalam setiap segi kehidupannya sehingga ia mampu menggenapi tujuan
penciptaannya.
Rumusan van Til sekilas kelihatan masih satu kelompok dengan definisi yang dibuat Sir Edward B. Taylor, Ruth Benedict atau Kuntjaraningrat. Unsur sistem kepercayaan tidak kelihatan.
Namun, bila karyanya dibaca sampai selesai, sangat jelas bahwa ia menghubungkan agama dengan budaya. Bagi van Til, keyakinan merupakan 'jiwa' atau 'roh'nya budaya seperti jiwa atau roh bagi tubuh.
Ini menulis, "budaya adalah aktifitas manusia sebagai gambar Allah dalam mengolah alam untuk beragam tujuan."
Bagi Van Til, manusia sebagai gambar Allah mempunyai jiwa atau roh dan jiwa atau roh berasal dari Allah. Karena mempunyai jiwa atau roh, manusia mempunyai religiusitas kepada Allah entah apapun keyakinannya.
Jadi, disadari atau tidak, setiap orang mempunyai sistem kepercayaan dan sistem kepercayaan yang dominan dalam masyarakat akan menggerakkan budaya sesuai dengan arah sistem kepercayaan itu.
Dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan dan budaya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, tetapi menyatu. Yang bersifat materi dapat dilihat, diraba, atau dicium.
Para dokter melakukan operasi kepada tubuh manusia dan ia dapat melihat bagian-bagian dalam dari tubuh manusia dengan bantuan teknologi CT Scan.
Namun, unsur yang tidak kelihatan, jiwa atau roh, tidak dapat dilihat dengan bantuan teknologi apapun, tetapi jiwa eksis.
Agama dengan Budaya
Sistem kepercayaan mempengaruhi budaya dan budaya dapat mempengaruhi sistem kepercayaan sampai pada tingkat tertentu.
Namun, sistem keyakinanlah yang memimpin budaya seperti jiwa memimpin tubuh.
Dengan kata lain, keyakinanlah yang menggerakkan budaya; keyakinan merupakan motor penggerak dari budaya. Keyakinan yang dominan dalam masyarakat akan menghasilkan budaya sesuai dengan keyakinan itu.
Apa yang terjadi di kawasan Danau Toba- kualitas air yang rusak, jutaan ikan mati di danau, sebagian hutan digunduli, munculnya galian liar dan beragam aktifitas masyarakat yang merusak alam dan bagaimana roda pemerintahan dijalankan- merupakan refleksi dari keyakinan yang dominan dalam masyarakat di kawasan Danau Toba. (JM/8 September 2018)
LINK TERKAIT:
Dari Hubungan Agama dengan Budaya ke Halaman Depan
Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com