Makmur tanpa Tuhan,
Pelajaran dari Scandinavia



Makmur tanpa Tuhan

Judul ini dipicu oleh buku berjudul Masyarakat Tanpa Tuhan, yang ditulis oleh Phil Zuckerman. Sekilas buku ini mengisahkan tentang kemakmuran masyarakat Barat khususnya negara-negara Scandinavia dan Eropah Barat.

Di negara-negara ini, masyarakat dapat dikatakan relatif makmur. Sekalipun pajak tinggi, tetapi pajak digunakan untuk masyarakat. Tingkat korupsi sangat kecil. Dari 10 negara yang paling rendah tingkat korupsinya, 3 di antaranya diduduki oleh negara-negara Scandinavia- Swedia, Norwegia dan Denmark; selebihnya didominasi oleh negara-negara Eropah Barat- Swiss, Belgia, Belanda, Francis, Jerman, Australia dan Canada.

Namun demikian, masyarakat di negara-negara Scandinavia dan Eropah Barat hampir tidak lagi percaya kepada Tuhan bahkan dapat dikatakan atheis. Sekalipun ada nuansa spiritual seperti perayaan Natal atau Paskah, sulit menemukan warga yang percaya kepada Tuhan. Makmur tanpa Tuhan

church-france

Relasi Keyakinan dengan Kemakmuran

Berbeda dengan negara kita, yang masyarakatnya mayoritas percaya kepada Tuhan, tetapi tingkat korupsi masih jauh bahkan tingkat korupsi negara kita masih kalah dari Malasya dan Singapura. Di negara kita, di lapisan mana saja selalu ada korupsi bahkan di lingkaran agama sekalipun terjadi.

Kepercayaan kepada Tuhan di Masa lalu

Tentu, kemajuan yang dicapai negara-negara Scandinavia dan Eropah Barat menarik untuk disimak; bagaimana mereka bisa menjadi negara makmur tanpa Tuhan sedangkan di negara-negara yang percaya kepada Tuhan seperti negara kita kemakmuran masih sebatas wacana.

Bangsa Scandinavia dan Eropah Barat mempunyai sejarah yang panjang yang tidak dimiliki bangsa kita. Apa yang mereka capai hari ini merupakan perpanjangan dari apa yang terjadi sebelumnya. Sekalipun mereka tidak percaya kepada Tuhan saat ini, apa yang mereka tuai saat ini berakar dari pemikiran-pemikiran yang tumbuh subur di masa lalu.

Di masa lalu, benih kepercayaan kepada Tuhan ditabur dan pernah subur. Akibatnya, muncul kesadaran tentang pentingnya keadilan dan tegaknya hukum.

Muncul pemahaman bagaimana kemakmuran bisa dicapai dan ada usaha-usaha yang rill dilakukan untuk mencapainya. Pajak dikutip dari rakyat, tetapi digunakan dengan baik untuk kebaikan masyarakat luas.

Fasilitas-fasilitas publik dibangun dan dipelihara dengan baik; jalan-jalan tidak dibiarkan rusak seperti yang baru-baru ini terjadi di Provinsi Lampung. Pendidikan didisain dengan baik. Para guru dipilih dengan bayaran yang relatif menarik. Jadi, kemakmuran tidak muncul begitu saja di sana.

Pengaruh Yunani Kuno

Selain itu, pemikiran Yunani kuno, yang digulirkan terutama oleh Socrates, Plato dan Aristoteles, juga mempengaruhi peradaban Eropah. Selama ribuan tahun muncul pertarungan pemikiran. Ada tesis, antitesis dan sintesa dalam pemikiran dan semuanya itu terdokumentasi.

Sejak era Yunani kuno sampai adad 21 sejarah dan pergulatan pemikiran di sana bisa ditelusuri sedangkan di belahan bumi lain termasuk negeri kita, pergulatan pemikiran itu tidak muncul dan kurang terdokumentasi dengan baik.

Bangsa-bangsa lain pernah juga mengalami kemakmuran. Negeri Mesopotamia, Mesir kuno, Cina, Persia, Kekaisaran Romawi, termasuk kerajaan lain seperti Kerajaan Ingris juga pernah memiliki kejayaan, tetapi kejayaan dan kemakmuran itu berhenti kecuali Cina, yang saat ini sedang menuju kejayaan. 

Mungkin Nusantara di era Kerajaan Sriwijaya atau Kerajaan Majapahit pernah mencapai kejayaan dan kemakmuran sampai tahap tertentu di masa lalu, tetapi kemudian hilang.

Bagaimana kontinuitas kemakmuran negara-negara Scandinavia dan Eropah Barat? Waktu akan mengungkap. Apakah kemakmuran mereka akan bertahan lama? Waktu akan menguji. Yang jelas tanda-tanda kemunduran sudah di depan mata.

money-dollar

Makmur tanpa Tuhan Menimbulkan Kecongkakan

Tentu, kemakmuran bukan sesuatu yang buruk sekalipun kemakmuran bisa memberi dampak buruk bahkan fatal. Kemakmuran bisa memicu kecongkakan mirip kekayaan bisa memicu sikap tinggi hati.

Bila kecongkakan sudah melebihi batas- ini akan mengakibatkan kejatuhan. Jadi, kemakmuran bisa tidak berlangsung lama dalam sebuah masyarakat atau negara bila kondisi hati yang congkak semakin buruk.

Kemakmuran merupakan buah dari munculnya kebenaran dan tegaknya hukum yang adil dan benar. Di mana saja hukum ditegakkan dengan adil dan jujur, di sana akan muncul kemakmuran.

Di mana saja hukum dipelihara dan dijunjung tinggi oleh masyarakat, pejabat pemerintah atau siapa saja yang menjadi warga negara dari sebuah negeri, di situ akan muncul benih-benih kemakmuran.

Bila hukum diabaikan dan tidak dihargai hanya menunggu waktu saja negeri atau masyarakat itu akan merosot seperti yang terjadi pada kekaisaran-kekaisaran yang pernah hebat di masa lampau.

Miskin tetapi Ber-Tuhan vs. Kaya tetapi Tidak Ber-Tuhan

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kemakmuran bisa muncul tanpa Tuhan? Ini bisa saja. Dalam diri manusia masih ada kekuatan yang ditanamkan oleh Tuhan untuk berbuat baik sekalipun perbuatan baik ini tidak ada artinya dihadapan Tuhan. Masih ada perbuatan-relatif-baik yang bisa muncul dari diri manusia.

Masih ada sisa-sisa gambar Allah dalam diri manusia sehingga kebaikan atau keadilan masih tergores dalam hati manusia. Ide-ide tentang kebenaran, kekekalan atau apa saja yang benar tidak akan pernah hilang dari hati manusia sekalipun itu tidak selalu bisa diimplementasikan.

Ketika hukum ditegakkan, ada keinginan untuk meraih kemerdekaan dan keadilan terutama kebebasan beragama, di sana akan muncul benih kemakmuran. Dan ini yang terjadi di negara-negara Scandinavia dan Eropah Barat di masa lalu dan buahnya masih tersisa sampai saat ini.

Namun, apa artinya makmur tanpa Tuhan? Apa artinya kaya tanpa Tuhan? Pertanyaannya bisa juga dirubah, "Apa artinya bertuhan tetapi miskin?"

Opsi yang menarik barangkali adalah di antara keduanya- tidak makmur, tetapi percaya kepada Tuhan; tidak kaya tidak miskin.

Makmur tanpa Tuhan mungkin tidak menarik bagi sebagian kecil orang; bagi kebanyakan orang, miskin sekalipun bertuhan bisa jadi bahan gurauan.

Bila dipilih antara miskin tetapi ber-Tuhan atau kaya tanpa Tuhan, 'orang suci' akan memilih yang pertama. Lebih baik menjadi orang miskin tetapi memiliki rasa takut kepada Tuhan daripada kaya tetapi tidak percaya kepada Tuhan.

Toh menjadi miskin hanya sementara di dunia ini sebab setelah itu, ada kebahagiaan yang tiada tara, yang melebihi kebahagiaan yang dapat diberikan oleh kekayaan materi. (JM)

Bagaimana Paras Wajah Anda di Dunia Akhirat?

Apa Itu Dosa Asal (Original Sin)?


Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com