Tenang Menghadapi Kematian



Apakah seseorang dapat tenang menghadapi kematian? Apakah manusia dapat 'bertemu' Sang Ilahi dengan damai? Apakah ada rasa sukacita yang luar biasa ketika jiwa seseorang mau berpisah dengan tubuhnya atau muncul rasa takut yang sangat mencekam?

Beragam perasaan bisa muncul dan tiap orang akan mengalami perasaan yang berbeda menjelang kematian.

Socrates Tenang Menghadapi Kematian

Salah seorang yang dianggap tenang menghadapi kematian adalah Socrates. Ia diadili dan dihukum mati karena dianggap bersalah telah menodai warga Athena dengan filsafatnya dan hukumannya adalah minum racun.

Socrates tidak berusaha melarikan diri. Tidak muncul ide untuk mengelabui pemerintah dengan filsafatnya. 

Kematian Socrates disaksikan oleh sahabat-sahabatnya. Socrates masih sempat berdiskusi mengenai kematian dengan mereka sebelum ia minum racun. Sahabat-sahabatnya sedih melihat ia akan mati.

Melihat kesedihan mereka, Socrates mengatakan, "Bukankah kematian yang kita impikan sebab dengan kematian, jiwa kita akan masuk ke alam keabadian?"

Setelah Socrates minum racun, sahabat-sahabatnya melihat reaksi racun terhadap tubuhnya sampai pada saat-saat terakhir- mulai dari kaki dan kemudian ke paha.

Socrates kemudian berbaring dengan tenang di tempat tidurnya dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tidak terlihat kegelisahan dalam diri Socrates.

 Bagi Socrates, kematian merupakan perpisahan antara jiwa dari tubuh. Kematian merupakan pintu gerbang bagi jiwa untuk bersama-sama dengan dewa di alam keabadian.

Ketenangan Socrates menghadapi kematian merupakan konsekuensi logis dari filsafatnya soal kematian. Hanya lewat kematian jiwa dapat menikmati kebenaran sepenuhnya.

Selama jiwa dipenjara oleh tubuh jiwa sulit berkonsentrasi memikirkan hikmat. Tubuh merupakan penghalang bagi jiwa untuk mengenal kebenaran secara utuh. Demikian filsafat Socrates.

Manusia harus memenuhi kebutuhannya untuk makan, minum, nafsu seks, keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk menumpuk harta, dan beragam keinginan lainnya.

Manusia menghabiskan waktu untuk memenuhi kebutuhan tubuh, yang seharusnya digunakan untuk memikirkan bijaksana. Selama keinginan dan kesenangan tubuh diutamakan, jiwa tidak akan dapat berkonsentrasi memikirkan kebenaran. 

Filosof sejati menjauhi segala bentuk kesenangan dan hawa nafsu. Keinginan tubuh hanya menjauhkan jiwa dari perenungan akan kebenaran.

Karena jiwa ingin bersama-sama dengan kebenaran, maka tidak logis filosof sejati takut menghadapi kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti, tetapi sesuatu yang harus dirayakan. Itu logika dibalik ketenangan Socrates menghadapi kematian.

Ke mana jiwa pergi setelah kematian?
Ini misteri.

Menurut Socrates, setelah kematian, jiwa-jiwa yang hanya memuaskan nafsunya akan berkelana di kuburan karena jiwanya tidak mau berpisah dengan tubuhnya. Jiwanya akan menunggui jasatnya sedangkan jiwa filosof sejati akan bersatu dengan dewa di alam keabadian.

Apakah pandangan Socrates benar atau tidak- ini bisa jadi bahan perdebatan. Ke mana jiwa pergi setelah berpisah dari tubuh masih misteri. Apakah jiwa akan menikmati kebahagiaan di alam keabadian seperti kata Socrates atau jiwa merasakan siksaan yang hebat di alam keabadian yang lain? Ini akan terjawab satu detik setelah kematian. 

Apakah orang dapat tenang menghadapi kematian? Ini mungkin dapat diketahui saat jiwa mau berpisah dari tubuh. (JM)   

Link Terkait:

Bagaimana Paras Wajah Anda di Dunia Akhirat?

Kualitas Sumber Daya Manusia di Dunia Akhirat

Perbedaan Pahala di Dunia Akhirat


Copyright 2009-2023 putra-putri-indonesia.com